Jumat, 05 Februari 2016

Hawalah (PENGALIHAN HUTANG DALAM HUKUM ISLAM)
A. DEFINISI Hawalah
Secara bahasa pengalihan utang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang memiliki arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan.
Penjelasan yang dimaksud adalah mentransfer utang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran utang).
محل إلى محل من النقل: لغة
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama 'berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah
الملتزمدمة إلى المديون دمة من لبة المطا نقل
"Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula".
 Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
دمةإلى دمة من الدين نقل
"Transfer utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain".
 Syihab al-din al-Qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
دمة إلى دمة من دين انتقال يقتضى عقد
"Akad yang mengatur transfer beban utang dari seseorang kepada yang lain".
 Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
Akad yang mengatur transfer utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
 Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
Transfer kewajiban dari beban yang mentransfer menjadi beban yang menerima transfer.
 Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
Transfer utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
 Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan Hawalah adalah transfer dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal alaih.
 Idris Ahmad, Hiwalah adalah seperti akad (ijab qobul) transfer utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu memiliki utang pula kepada yang memindahkan.

B. DASAR HUKUM Hawalah
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma:
1. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
 Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya adalah perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut). (HR Jamaah)
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkecukupan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan harus ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az lahiriyah berpendapat: bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat: perintah itu bersifat sunnah.
2. Ijma
Para ulama sepakat memungkinkan Hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang / benda, karena Hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.

C. RUKUN Hawalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang,
Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحتال و االمحال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
Pihak ketiga muhal 'alaih (عليه المحال):
Yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal.
 Ada utang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (به المحال):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
 Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal alaih kepada muhil.
 Ada sighoh (pernyataan hiwalah).

D. PERSYARATAN Hawalah
Persyaratan Hawalah ini terkait dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
 Persyaratan yang terkait dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum bisa dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena Hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Selain itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad Hawalah.
Persyaratan yang terkait dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad Hawalah.
Persyaratan yang terkait dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak bisa dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad Hawalah dalam acara atau di luar acara.
Persyaratan yang terkait dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, utang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa utang tersebut hanya bisa dihilangkan dengan pelunasan atau penghapusan [5].
E. JENIS-JENIS Hawalah
Ada dua jenis Hawalah yaitu Hawalah muthlaqoh dan Hawalah Muqoyyadah.
Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berutang kepada orang pertama. Jika A berutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B ke C, sementara C tidak punya hubungan utang pituang kepada B, maka Hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syiah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis Hawalah ini sebagai kafalah.
Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah Hawalah yang dapat (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya memungkinkan Hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada Hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka Hawalah tidak sah.
Hawalah Haq
Hawalah ini adalah transfer piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi utang yang lain sedangkan orang yang berutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A memiliki utang kepada piutang B.
Hawalah dayn
Hawalah ini adalah transfer utang kepada orang lain yang memiliki utang kepadanya. Ini berbeda dari Hawalah Haq. Pada hakekatnya Hawalah dayn sama pengertiannya dengan Hawalah yang telah dijelaskan di depan.
F. HAKIKAT Hawalah
            Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa Hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual utang dengan utang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap sahih di kalangan Syafiiah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya: jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim)
            Yang sahih menurut Hanabilah bahwa Hawalah adalah murni transaksi irfaq (bermanfaat) bukan yang lainnya.
Ibnu al-Qayyim berkata, Kaidah-kaidah syara mendukung dibolehkannya Hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas


G. UNSUR kerelaan DALAM Hawalah
1. Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafiiah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima transfer) adalah hal yang wajib dalam Hawalah karena utang yang ditransfer adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang ke yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena solusi tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima transfer) wajib menerima transfer itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama tentang tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima transfer) untuk menerima Hawalah adalah karena muhal alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima Hawalah. Namun jika muhal alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima Hawalah.
2. Kerelaan Muhal Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafiiah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Selain itu, hak ada pada muhil dan ia bisa menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal alaih karena setiap orang memiliki sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan utang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal alaih. Dan muhal alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.




H. BEBAN MUHIL SETELAH Hawalah
Ketika Hawalah arah sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah Hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak bisa kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal bisa kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak dapat kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam kondisi muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi ke muhil untuk menagihnya.
I. PERINGKAT HUKUM Hawalah
Pertama, jika Hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari kecanduan utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya akad Hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan ke Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.
J. BERAKHIRNYA AKAD Hawalah
Akad Hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad Hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam kondisi ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad Hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad Hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta Hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini Hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad Hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta Hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar